Jumat, 08 Juni 2012

KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP)

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
SEKOLAH :
MATA PELAJARAN : Bahasa Indonesia
KELAS : X
SEMESTER : 1

A. STANDAR KOMPETENSI :
Mendengarkan : 1. Memahami siaran atau cerita yang disampaikan secara langsung /tidak langsung

B. KOMPETENSI DASAR :
1.2 Mengidentifikasi unsur sastra (intrinsik dan ekstrinsik) suatu cerita yang disampaikan secara langsung atau melalui rekam¬an

C. MATERI PEMBELAJARAN :
Rekaman cerita, tuturan langsung (kaset, CD, buku cerita)
 • unsur intrinsik (tema, alur, konflik, penokohan, sudut pandang, dan amanat)
 • unsur ekstrinsik (agama, politik, sejarah, budaya)

D. INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI :
No.Indikator pencapaian KompetensiNilai budaya dan Karaker Bangasa Kewirausahaan/ Ekonomi Kreatif
1Menyampaikan unsur-unsur  ekstrinsik (nilai moral,kebudayaan, agama, dll.).• Bersahabat/ komunikatif • Kepemimpinan
2Menanggapi (setuju atau tidak setuju) unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang disampaikan teman.• Tanggung jawab
3Menyampaikan  unsur-unsur intrinsik  ( tema, penokohan, konflik,  amanat, dll.).

4Menanggapi (setuju atau tidak setuju) unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang disampaikan teman.Menanggapi (setuju atau tidak setuju) unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang disampaikan teman.


E. TUJUAN PEMBELAJARAN* :
Siswa dapat:
• Menyampaikan unsur-unsur intrinsik ( tema, penokohan, konflik, amanat, dll.) yang terkandung di dalam cerita yang disajikan disertai contoh kutipannya.
• Menyampaikan unsur-unsur ekstrinsik (nilai moral,kebudayaan, agama, dll.) yang terkandung di dalam cerita yang disajikan disertai contoh kutipannya.
• Menanggapi (setuju atau tidak setuju) unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang disampaikan teman dengan menggunakan bahasa yang santun dan efektif.

F. METODE PEMBELAJARAN :
- Penugasan
- Diskusi
- Tanya Jawab
- Unjuk kerja
- Ceramah
- Demonstrasi

G. Strategi Pembelajaran
Tatap MukaTerstruktur Mandiri
• Memahami siaran atau cerita yang disampaikan secara langsung /tidak langsung.
• Menyampaikan unsur-unsur  ekstrinsik (nilai moral,kebudayaan, agama, dll.)
• Mencari siaran atau cerita yang disampaikan secara langsung /tidak langsung 
• Menanggapi (setuju atau tidak setuju) unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang disampaikan teman.
• Siswa dapatMenyampaikan  unsur-unsur intrinsik  ( tema, penokohan, konflik,  amanat, dll.) yang terkandung di dalam cerita yang disajikan disertai contoh kutipannya.
• Siswa Menyimpulkan tentangsiaran atau cerita yang disampaikan secara langsung /tidak langsung.

H. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN :

No.Kegiatan Belajar Nilai Budaya dan Karakter Bangasa
1
Kegiatan Awal :
- Guru menjelaskan Tujuan Pembelajaran hari ini.
Bersahabat/ komunikatif
2Kegiatan Inti :
? Eksplorasi
Dalam kegiatan eksplorasi :
? Mendengarkan cerita daerah tertentu (Misalnya: Si Kabayan, Roro Jonggrang, Malin Kundang)*
? Mengidentifikasi unsur intrinsik dan ekstrinsik
? Menyampaikan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik.
? Elaborasi
Dalam kegiatan elaborasi,
? ceritakan yang disampaikan secara langsung atau melalui rekam¬an
? Diskusi dan tanya jawab
? Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, Siswa:
? Menyimpulkan tentang hal-hal yang belum diketahui
? Menjelaskan tentang hal-hal yang belum diketahui.
Tanggung jawab
3
Kegiatan Akhir :
- Refleksi
- Guru menyimpulkan pembelajaran hari ini.

Bersahabat/ komunikatif

I. ALOKASI WAKTU :
4 x 40 menit

J. SUMBER BELAJAR/ALAT/BAHAN :
Buku cerita/kaset LKS : Tim. Bahasa Indonesia SMA X. Sukoharjo: Pustaka Firdaus. Buku pendamping: Syamsuddin A.R. Kompetensi Berbahasa dan Sastra Indonesia Kelas X. Surakarta: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. 2006.

 K. PENILAIAN :
Jenis Tagihan:
Tugas individu
Ulangan

Bentuk Instrumen:
Uraian bebas
Pilihan ganda
Jawaban singkat


Mengetahui,     2011
Kepala Sekolah                                                    Guru Mata Pelajaran



NIP.                                                                      NIP.

Kamis, 07 Juni 2012

Pengertian Karangan Eksposisi

Kata ekposisi yang diambil dari kata bahasa Inggris ekxposition sebenarnya berasal dari kata bahasa Latin yang berarti “membuka” atau “memulai” (to set fourth) (Ahmadi dkk, 1981:7). Eksposisi atau ekspositori juga bisa disebut paparan yaitu suatu paragraf yang menampilkan suatu objek yang peninjauannya tertuju pada satu unsur saja dengan cara penyampaiaan yang menggunakan perkembangan analisis kronologis atau keruangan (Arifin&Tansai, 2002:129). Seorang penulis tulisan eksposisi akan mengatakan, “Saya menceritakan kepada kalian semua kejadian dan peristiwa ini dan menjelaskan agar saudara-saudara dapat memahaminya.” (Parera, 1993:5). Dengan demikian Parera berpendapat bahwa tulisan eksposisi merupakan tulisan atau paragraf yang menampilkan suatu objek yang peninjauannya tertuju pada satu unsur saja dengan cara penyampaiaan yang menggunakan perkembangan analisis kronologis atau keruangan agar pembaca memahaminya. Fulton (dalam Gie,2002:62) mengatakan bahwa tulisan paparan adalah bentuk tulisan yang dengannya orangn melakukan pembeberan yang jelas, memadai dan netral tentang suatu hal yang termasuk dalam bidang pengetahuan manusia. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tulisan eksposisi merupakan tulisan yang menampilkan suatu objek yang peninjauannya tertuju pada satu unsur saja secara jelas, memadai, dan netral sehingga pembaca dapat memahaminya.
   
Sesuai dengan pengertian eksposisi di atas, tujuan dari penulisan eksposisi adalah untuk memberitahu, mengupas, mengurai, atau menerangkan sesuatu. Dalam tulisan eksposisi, masalah yang dikomunikasikan adalah pemberitahuan dan informasi. Hal tersebut sejalan dengan Ahmadi dkk (1981:7) bahwa tujuan utama penulisan paragraf eksposisi itu hanya semata-mata untuk membagikan informasi dan tidak sama sekali untuk mendesakkan atau memaksakan orang lain untuk menerima pandangan atau pendirian tertentu sebagai sesuatu yang sahih. Untuk itu biasanya tulisan eksposisi dapat disebut sebagai wacana informative.
Menurut Ahmadi dkk (1981:7), hal atau sesuatu yang diinformasikan dalam tulisan eksposisi itu bisa berupa hal-hal sebagai berikut.
(1) Data faktual, misalnya tentang suatu kondisi yang benar-benar terjadi atau bersifat historis, tentang bagaimana sesuatu bekerja, tentang bagaimana suatu operasi diperkenalkan, dan sebagainya.
(2) Suatu analisis atau suatu penafsiran yang objektif terhadap seperangkat fakta.
(3) Atau berupa fakta tentang seseorang yang berpegang teguh pada suatu pendirian yang khusus asalkan tujuan utamanya adalah untuk memberikan informasi.

Fungsi dan Tujuan Evaluasi Pembelajaran Menulis

          Evaluasi hasil belajar adalah proses pemberian nilai terhadap hasil-hasil belajar yang dicapai siswa dengan kriteria-kritria tertentu. Penilaian proses belajar adalah upaya memberi nilai terhadap kegiatan belajar-mengajar yang dilakukan oleh siswa dan atau guru dalam mencapai tujuan-tujuan pengajaran. Sudjana (2005:3) mengatakan ada tiga fungsi evaluasi yaitu sebagai berikut.
(1) Alat untuk mengetahui tercapai-tidaknya tujuan intruksional.
    (2) Umpan balik bagi perbaikan proses pembelajaran.
    (3) Dasar dalam menyusun laporan kemajuan belajar siswa kepada orang tuanya.
Sudjana (2005:4) mengatakan bahwa dalam konteks pelaksanaan pendidikan, evaluasi memiliki tujuan antara lain sebagai berikut.
    (1) Mendeskripsikan kecakapan belajar siswa sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangannnya dalam berbagai bidang studi setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dalam jangka waktu tertentu.
    (2) Mengetahui efektivitas metode pembelajaran yang digunakan dalam upaya untuk membentuk siswa yang berkualitas dalam aspek intelektual, sosial, emosional, maral, dan keterampilan
    (3) Untuk menentukan tindak lanjut hasil penilaian yaitu dengan melakukan perbaikan dan penyempurnaan dalam hal program pendidikan dan pengajaran serta strategi pelaksanaannya.
    (4) Untuk memberikan pertanggungjawaban (accountability) dari pihak sekolah ke pihak-pihak yang berkepentingan seperti pemerintah, masyarakat dan orang tua.

Pengertian Pengukuran, Asesmen, dan Evaluasi dalam Pembelajaran Menulis

Evaluasi merupakan salah satu kegiatan utama yang harus dilakukan oleh seorang guru dalam kegiatan pembelajaran. Dengan penilaian, guru akan mengetahui perkembangan hasil belajar, intelegensi, bakat khusus, minat, hubungan sosial, sikap dan kepribadian siswa atau peserta didik. Sesungguhnya, dalam konteks penilaian ada beberapa istilah yang digunakan, yakni pengukuran, assessment dan evaluasi.
Pengukuran atau measurement merupakan suatu proses atau kegiatan untuk menentukan kuantitas sesuatu yang bersifat numeric (Wordpress, 2008).
   
Winkel (1996:477) juga mengatakan bahwa pengukuran merupakan deskripsi kuantitatif tentang keadaan suatu hal sebagaimana adanya atau tentang perilaku yang nampak pada seseorang, atau tentang prestasi. Untuk itu, pengukuran lebih bersifat kuantitatif, bahkan merupakan instrumen untuk melakukan penilaian. Nurhasanah&Widodo, (1993:72) mengatakan bahwa pengukuran kemampuan menulis adalah proses atau tindakan untuk menentukan kualitas kemampuan menulis. Nurhasanah & Widodo (1993:72–74) memaparkan ada empat jenis pengukuran untuk mengukur kemampuan menulis yaitu sebagai berikut.
(1) Pengukuran subjektif, adalah pengukuran yang dilakukan dengan cara memeriksa langsung karangan berdasarkan impresi pemeriksa.
(2) Pengukuran objektif, adalah pengukuran yang dilakukan dengan cara mencocokkan pekerjaan dengan kunci yang ada
(3) Pengukuran global, adalah pengukuran yang dilakukan secara global tanpa melihat aspek-aspek kemampuan menulis yang mendukungnya agar melihat kemampuan menulis secara utuh.
(4) Pengukuran aspek-peraspek, adalah pengukuran kemampuan menulis yang bertujuan untuk melihat kemampuan aspek-peraspek yang mendukung kemampuan menulis secara utuh.
Sementara, pengertian asesmen (assessment) adalah kegiatan mengukur dan mengadakan estimasi terhadap hasil pengukuran atau membanding-bandingkan dan tidak sampai ke taraf pengambilan keputusan (Wordpress, 2008). Sedangkan evaluasi secara etimologi berasal dari bahasa Inggris evaluation yang bertarti value, yang secara secara harfiah dapat diartikan sebagai penilaian (Echols&Shadily, 1996:220). Namun, dari sisi terminologis ada beberapa definisi yang dapat dikemukakan. Dalam Wordpress (2008), ketiga definisi evaluasi dari sisi terminologis yaitu:
(1) suatu proses sistematik untuk mengetahui tingkat keberhasilan sesuatu.
(2) kegiatan untuk menilai sesuatu secara terencana, sistematik dan terarah berdasarkan atas tujuan yang jelas.
(3) proses penentuan nilai berdasarkan data kuantitatif hasil pengukuran untuk keperluan pengambilan keputusan.
Berdasarkan pada berbagai batasan 3 jenis penilaian di atas, maka dapat diketahui bahwa perbedaan antara evaluasi dengan pengukuran adalah dalam hal jawaban terhadap pertanyaan “what value” untuk evaluasi dan “how much” untuk pengukuran (Wordpres, 2008). Sedangkan asesmen berada di antara kegiatan pengukuran dan evaluasi. Akan tetapi, sekalipun makna dari ketiga istilah (measurement, assessment, evaluation) secara teoretik definisinya berbeda, tetapi dalam kegiatan pembelajaran terkadang sulit untuk membedakan dan memisahkan batasan antara ketiganya dan evaluasi pada umumnya diawali dengan kegiatan pengukuran (measurement) serta pembandingan (assessment).
Winkel (1996:475) mengatakan bahwa evaluasi adalah penentuan sampai berapa jauh sesuatu berharga, bermutu, atau bernilai. Evaluasi terhadap hasil belajar yang dicapai oleh siswa dan tehadap proses belajar mengajar mengandung penilaian terhadap hasil belajar atau proses belajar itu. Salah satu kegiatan evaluasi pembelajaran dapat dilakukan dengan pengukuran. Adapun langkah-langkah pokok dalam penilaian secara umum terdiri dari: (1) perencanaan, (2) pengumpulan data, (3) verifikasi data, (4) analisis data, dan (5) interpretasi data.

Tujuan Pembelajaran Menulis

Menurut Nurchasanah&Widodo (1993:62–66), tujuan pembelajaran menulis dapat ditentukan berdasarkan aspek yang diinginkan dicapai oleh siswa. Tujuan tersebut antara lain sebagai berikut.
(1) Tujuan yang bersifat teoretis dan praktis, biasanya diwujudkan dalam pengajaran menulis secara serentak, maksudnya dalam pertemuan pengajaran tertentu siswa diharapkan dapat mencapai tujuan yang bersifat teoretis sekaligus dapat mencapai tujuan yang bersifat praktis. Tujuan yang bersifat teoretis menitikberatkan pembelajaran pada aspek teori menulis sedangkan tujuan yang bersifat praktis menitikberatkan pada aspek praktek menulis.
    (2) Tujuan berdasarkan wujud tulisan/karangan, maksudnya tujuan pengajaran menulis dapat didasarkan atas wujud tulisan yang diharapkan dikuasai oleh siswa. Wujud karangan yang dimaksud misalnya siswa diharapkan mampu menulis karangan ilmiah, karangan nonilmiah, karangan yang bersifat pengetahuan, karangan yang bersifat kesusastraan, dll.
    (3) Tujuan berdasarkan tingkat kognisi yang dicapai, yaitu tujuan yang bersifat ingatan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesia, dan evaluasi. Dalam

    praktek di kelas, diharapkan tujuan tersebut dapat tercapai dalam pembelajar di kelas. Siswa (kelas tinggi) sebaiknya mampu hingga tahap evaluasi karena jika seseorang pandai menilai sesuatu itu artinya dia telah memahami apa yang dia nilai.
    (4) Tujuan langsung dan tidak langsung, di mana tujuan langsungnya adalah agar siswa dapat menulis secara langsung tanpa melalui tahapan kegiatan prasyarat, sedangkan tujuan tidak langsungnya adalah siswa dapat menulis dengan melalui tahapan-tahapan kegiatan prasyarat.
    (5) Tujuan yang bersifat diskrit dan pragmatik, yakni pengajaran menulis yang bersifat diskrit bertujuan ingin melihat aspek-aspek kemampuan menulis secara terpisah-pisah, sedangkan pengajaran menulis yang bersifat pragmatik bertujuan ingin melihat kemampuan menulis secara utuh, bukan melihat aspek-peraspek.

Hakikat Pembelajaran Menulis

Berhasil atau tidaknya pengajaran menulis, salah satunya disebabkan oleh cara yang ditempuh guru dalam mengajarkan menulis. Menurut Nurhasanah&Widodo (1993:70–72), ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam mengajarkan kemampuan menulis adalah sebagai berikut.
(1) Prinsip
Menulis adalah ketrampilan berbahasa. Ketrampilan akan dapat dicapai kalau banyak berlatih. Oleh karena itu, untuk mencapai ketrampilan itu, siswa harus diberi banyak latihan atau tugas-tugas. Sebelum guru memberikan tugas-tugas kepada siswa, guru harus menjelaskan tugas-tugas apa yang diberikan kepada siswa dan apa yang harus dilakukan dan diperhatikan siswa.
(2) Pembimbingan
Bimbingan perlu diberikan secara intensif sejak siswa mulai belajar menulis sampai menghasilkan tulisan. Setelah siswa menghasilkan karangan, pengoreksian terhadap karangan perlu dilakukan dan hasilnya perlu diinformasikan kepada siswa. Guru bersama-sama siswa bisa mendiskusikan bagaimana pembetulan karangan itu karena yang diperlukan dalam karangan ini adalah siswa mengetahui bagaimana seharusnya mereka mengarang.
(3) Sifat pengajaran
Pengajaran menulis bisa dilakukan dengan dasar berikut ini.
    (a) Pengajaran menulis bisa dimulai dari latihan aspek-peraspek kemampuan menulis, kemudian dilanjutkan dengan latihan menulis karangan secara utuh.
   
    (b) Pengajaran menulis bisa dimulai dari teori tentang menulis, kemudian dilanjutkan ke praktek menulis, atau sebaliknya.
    (c) Hal-hal yang ditulis dimulai dengan hal-hal yang dikenal siswa atau berada di lingkungan siswa ke hal-hal yang belum dikenal siswa.
    (4) Media
Media pengajaran menulis bisa diambil dari contoh-contoh karangan yang sudah ada, bisa diambil dari surat kabar atau majalah.

Asas Menulis Efektif


Gie (2002:33) menuturkan bahwa ada tiga asas utama yang perlu diperhatikan dalam menulis karangan yang efektif. Dalam bahasa Inggris, ketiga asas utama tersebut dikenal dengan singkatan 3C yaitu clarity (kejelasan), conciseness (keringkasan), dan correctness (ketepatan). Ketiga asas tersebut yaitu sebagai berikut.
(1) Kejelasan
Asas mengarang yang pertama dan utama dalam kegiatan menulis ialah kejelasan. Hasil perwujudan gagasan seseorang dalam bahasa tulis harus dapat dibaca dan dimengerti oleh pembaca. Tanpa asas kejelasan, sesuatu karangan sulit dibaca dan sulit dimengerti oleh para pembacanya. Asas kejelasan tidaklah semata-mata berarti mudah dipahami, tetapi juga karangan itu tidak mungkin disalahtafsirkan oleh pembaca. Kejelasan berarti tidak samar-samar, tidak kabur sehingga setiap butir ide yang diungkapkan seakan-akan tampak nyata oleh pembaca. 

            (2) Keringkasan
Asas keringkasan tidaklah berarti bahwa setiap karangan harus pendek. Keringkasan berarti bahwa suatu karangan tidak menghamburkan kata-kata secara semena-mena, tidak mengulang-ulang butir ide yang dikemukakan, dan tidak berputar-putar dalam menyampaikan suatu gagasan dengan berbagai kalimat yang berkepanjangan. Menurut Harry Shaw (dalam Gie, 2002:36), penulisan yang baik diperoleh dari ide-ide yang kaya dan kata-kata yang hemat, bukan kebalikannya ide yang miskin dan kata yang boros. Jadi, sesuatu karangan adalah ringkas bilamana karangan itu mengungkapkan banyak buah pikiran dalam kata-kata yang sedikit.
(3) Ketepatan
Asas ketepatan mengandung ketentuan bahwa sesuatu penulisan harus dapat menyampaikan butir-butir gagasan kepada pembaca dengan kecocokan sepenuhnya seperti yang dimaksud oleh penulisnya. Oleh karena itu, agar karangannya tepat, setiap penulis harus menaati sepenuhnya berbagai aturan dan ketentuan tata bahasa, ejaan, tanda baca, dan kelaziman pemakaian bahasa tulis yang ada.
Tiga asas yang telah disebutkan di atas merupakan asas-asas utama yang harus diperhatikan dan dilaksanakan dalam kegiatan menulis, sehingga dapat menghasilkan suatu tulisan yang baik dan dapat dibaca dan dimengerti oleh pembaca. Selain ketiga asas utama tersebut, menurut Gie (2002:36–37), masih terdapat tiga asas menulis lainnya yang perlu diperhatikan oleh penulis agar dapat menghasilkan tulisan yang baik. Ketiga asas itu antara lain

             
(1) unity (kesatupaduan), (2) coherence (pertautan), dan (3) emphasis (penegasan). Ketiga asas tersebut yaitu sebagai berikut.
            (1) Kesatupaduan
Asas ini berarti bahwa segala hal yang disajikan dalam suatu karangan perlu berkisar pada satu gagasan pokok atau tema utama yang telah ditentukan. Untuk keseluruhan karangan yang tersusun dari alinea-alinea, tidak ada uraian yang menyimpang dan tidak ada ide yang lepas dari jalur gagasan pokok itu. Selanjutnya dalam setiap alinea hanya dimuat satu butir informasi yang berkaitan dengan gagasan pokok yang didukung dengan berbagai penjelasan yang bertalian dan bersifat padu.
(2) Pertautan
Asas ini menetapkan bahwa dalam sesuatu karangan bagian-bagiannya perlu ”melekat” secara berurutan satu sama lain. Dalam sebuah karangan antara alinea yang satu dengan alinea yang lainnya perlu ada saling kait sehingga ada aliran yang logis dari ide yang satu menuju ide yang lain. Demikian pula antara kalimat yang satu dengan kalimat berikutnya dalam suatu alinea perlu ada kesinambungan yang tertib. Jadi, pada asas pertautan semua alinea dan kalimat perlu berurutan dan berkesinambungan sehingga seakan-akan terdapat aliran yang lancar dalam penyampaian gagasan pokok sejak awal sampai akhir karangan.
(3) Penegasan
Asas penegasan dalam mengarang menetapkan bahwa dalam sesuatu tulisan butir-butir informasi yang penting disampaikan dengan penekanan atau penonjolan tertentu sehingga mengesan kuat pada pikiran pembaca.

Konsep Pengembangan Keterampilan Menulis

Frekuensi latihan menulis akan menjadikan seseorang terampil dalam bidang tulis-menulis (Kurniawan, 2007). Tidak ada waktu yang tidak tepat untuk memulai menulis. Artinya, kapan pun, di mana pun, dan dalam situasi yang bagaimana pun seorang dapat melakukannya. Ketakutan akan kegagalan bukanlah penyebab yang harus dipertahankan. Itulah salah satu kiat, teknik, dan strategi yang ditawarkan oleh Nunan (dalam Kurniawan, 2007). Nunan (dalam Kurniawan,2007) menawarkan suatu konsep pengembangan keterampilan menulis yang meliputi: (1) perbedaan antara bahasa lisan dan bahasa tulisan, (2) menulis sebagai suatu proses dan menulis sebagai suatu produk, (3) struktur generik wacana tulis, (4) perbedaan antara penulis terampil dan penulis yang tidak terampil, dan (5) penerapan keterampilan menulis dalam proses pembelajaran.
Pertama, perbedaan antara bahasa lisan dan bahasa tulisan tampak pada fungsi dan karakteristik yang dimiliki oleh keduanya. Namun demikian, yang patut diperhatikan adalah keduanya harus memiliki fungsi komunikasi. Dari sudut pandang inilah dapat diketahui sejauh mana hubungan antara bahasa lisan dan bahasa tulis, sehingga dapat diaplikasikan dalam kegiatan komunikasi. Dalam berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang paling sering digunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya kita dengan bahasa tadi, terutama bahasa Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami dan mempelajari bahasa Indonesia secara lebih jauh dan lebih mendalam. Akibatnya, sebagai pemakai bahasa, orang Indonesia kadang-kadang tidak terampil menggunakan bahasanya sendiri dibandingkan dengan orang asing yang belajar bahasa Indonesia. Hal ini merupakan suatu kelemahan yang tidak kita sadari.

Kedua, pandangan bahwa keterampilan menulis sebagai suatu proses dan menulis sebagai suatu produk. Pendekatan yang berorientasi pada proses lebih memfokuskan pada aktivitas belajar (proses menulis), sedangkan pendekatan yang berorientasi pada produk lebih memfokuskan pada hasil belajar menulis yaitu wujud tulisan.
Ketiga, struktur generik wacana dari masing-masing jenis karangan (tulisan) tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok. Hanya saja pada jenis karangan narasi menunjukkan struktur yang lengkap, yang meliputi orientasi, komplikasi, dan resolusi. Hal ini menjadi ciri khas jenis karangan/tulisan ini.
Keempat, untuk menambah wawasan tentang keterampilan menulis, setiap penulis perlu mengetahui penulis yang terampil dan penulis yang tidak terampil. Tujuannya adalah agar dapat mengikuti jalan pikiran (penalaran) dari keduanya. Kita dapat mengetahui kesulitan yang dialami penulis yang tidak terampil (baca: pemula, awal). Salah satu kesulitan yang dihadapinya adalah ia kurang mampu mengantisipasi masalah yang ada pada pembaca. Adapun penulis terampil, ia mampu mengatakan masalah tersebut atau masalah lainnya, yaitu masalah yang berkenaan dengan proses menulis itu sendiri.
Kelima, sekurang-kurangnya ada tiga proses menulis yang ditawarkan oleh David Nunan, yakni: (1) tahap prapenulisan, (2) tahap penulisan, dan (3) tahap perbaikan. Untuk menerapkan ketiga tahap menulis tersebut diperlukan keterampilan memadukan antara proses dan produk menulis.


   
    Menulis pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif. Dalam kegiatan menulis ini seorang penulis harus terampil memanfaatkan grafologi, struktur bahasa, dan kosakata. Keterampilan menulis digunakan untuk mencatat, merekam, meyakinkan, melaporkan, menginformasikan, dan mempengaruhi pembaca. Maksud dan tujuan seperti itu hanya dapat dicapai dengan baik oleh para pembelajar yang dapat menyusun dan merangkai jalan pikiran dan mengemuka-kannya secara tertulis dengan jelas, lancar, dan komunikatif. McCrimmon (dalam Kurniawan, 2007) mengatakan bahwa kejelasan ini bergantung pada pikiran, organisasi, pemakaian dan pemilihan kata, dan struktur kalimat.

Pengertian Menulis

        Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa. Hampir semua orang mengetahui apa itu menulis, bahkan dapat dikatakan bahwa menulis merupakan salah satu kegiatan yang bisa dikerjakan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak ahli bahasa telah mendeskripsikan pengertian menulis. Akan tetapi batasan pengertian menulis tidak lebih dari semacam peta konsep yang masih bersifat kasar.
Menulis adalah melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang, membuat surat) dengan tulisan (KBBI, 1990:968). Bloom (dalam Ahmadi, 1988:22) menyatakan bahwa tulisan atau karangan (komposisi tulis) termasuk dalam kategori “sintesis” yaitu sebagai suatu “produksi komunikasi yang unik” di mana penulis mencoba dan berupaya untuk menyampaikan gagasan, ide, dan atau perasaan kepada orang lain (pembaca). Menulis adalah usaha untuk menuangkan ide, pikiran, perasaan, dan kemauan dengan wahana bahasa tulis (Nurchasanah&Widodo, 1993:1). Menulis atau mengarang adalah segenap rangkaian kegiatan seseorang mengungkapkan gagasan dan menyampaikannya melalui bahasa tulis kepada masyarakat pembaca untuk dipahami (Gie, 2002:3). Dengan demikian, menulis adalah produksi komunikasi yang unik dalam mengungkapkan gagasan, ide, dan atau perasaan kepada pembaca untuk dipahami dengan menggunakan wahana bahasa tulis.

DEFENISI WACANA MENURUT PARA AHLI

             Wacana adalah istilah yang sudah tidak asing lagi dalam dunia kebahasaan karena wacana merupakan salah satu unsur linguistik yang banyak digunakan di dalam dunia kebahasaan. Dalam hal ini merupakan tataran yang terbesar di dalam unsur linguistik yang dimulai dari tataran terkecil yaitu huruf, fonem, kata, frasa, klausa, paragraf, dan wacana.
         Wacana adalah kesatuan makna antarbagian di dalam suatu bangun bahasa karena setiap bagian di dalam wacana itu berhubungan secara padu yang dibangun atas hubungan makna antarsatuan bahasa dan juga terikat dengan konteks. Konteks inilah yang dapat membedakan wacana yang digunakan sebagai pemakaian bahasa dalam komunikasi dengan bahasa yang bukan untuk tujuan komunikasi.
Dasar sebuah wacana ialah klausa atau kalimat yang menyatakan keutuhan pikiran. Wacana adalah unsur gramatikal tertinggi yang direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh dan dengan amanat yang lengkap dengan koherensi dan kohesi yang tinggi. Wacana utuh harus dipertimbangkan dari segi isi (informasi) yang koheren sedangkan sifat kohesifnya dipertimbangkan dari keruntutan unsur pendukungnya yaitu bentuk.
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, mendefenisikan wacana sebagai:

1.    ucapan, perkataan, tutur

2. keseluruhan tutur yang merupakan satu kesatuan

3. satuan bahasa terlengkap, realisasinya tampak pada bentuk karangan utuh seperti novel, buku, atau artikel, atau pada pidato, khotbah, dan sebagainya.
Berdasarkan pengertian wacana yang telah dikemukakan secara harfiah dan berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, selain itu banyak pula dari para ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai defenisi wacana tersebut. Oleh karena itu maka defenisi mengenai wacana dari masing-masing ahli adalah sebagai berikut:

1.    Roger Fowler (1977) memandang bahwa wacana adalah komunikasi lisan dan tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang termasuk di dalamnya.
2.    J.S. Badudu (2000) menyatakan bahwa wacana sebagai rentetan kalimat yang berkaitan dengan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. Kemudian dijelaskan pula bahwa wacana merupakan kesatuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata,disampaikan secara lisan dan tertulis.
3.  Menurut Hawthorn (1992) bahwa menyatakan bwacana adalah komunikasi kebahasaan yang terlihat sebagai sebuah pertukaran di antara pembicara dan pendengar, sebagai sebuah aktivitas personal di mana bentuknya ditentukan oleh tujuan sosialnya.
4.    Samsuri mengemukakan pendapatnya mengenai wacana yaitu rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi, biasanya terdiri atas seperangkat kalimat yang mempunyai hubungan pengertian yang satu dengan yang lain.  Komunikasi itu dapat menggunakan bahasa lisan, dan dapat pula memakai bahasa tulisan.
5.    Foucault menyatakan bahwa wacana kadang kala sebagai bidang dari semua pernyataan, kadang kala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang kala sebagai sebuah praktik regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan.
6.    Berdasarkan pendapat Foucalt, Mills (1994) mengemukakan pendapatnya bahwa wacana dapat dilihat dari level konseptual teoretis, konteks penggunaan, dan metode penjelasan.
7.    Harimurti (1984:204)"Wacana atau dalam Bahasa Inggerisnya ialah 'Discourse'. Wacana merupakan satuan bahasa yang lengkap, yaitu dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi ataupun terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh seperti novel, buku seri ensiklopedia dan sebagainya, paragraf, kalimat atau kalimat yang membawa amanat yang lengkap."
8.    Anton M.Moeliono (1995:407):"Wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat itu."
9.    Menurut Lull (1998), wacana yaitu cara objek atau ide diperbincangkan secara terbuka kepada publik sehingga menimbulkan pemahaman tertentu yang tersebar luas.
10.    Asmah (1982:3) menyatakan bahwa wacana tidak mempunyai satu-satu jenis kalimat yang berdiri secara utuh tanpa dipengaruhi oleh proses-proses kelahiran kalimat. Ini bermaksud bahawa kalimat yang selalu didapati dalam struktur dan sistem secara teratur. Asmah telah membedakan kalimat sistem dari ayat wacana. Kalimat sistem adalah kalimat atau tutur yang dikeluarkan dan diasingkan dari konteks wacana, sedangkan kalimat wacana yang juga disebut kalimat teks adalah kalimat yang betul-betul terdapat dalam wacana teks dan wacana lisan.
11.    Menurut Fokker (1951:4) pula, hubungan kesinambungan cerita itu dapat menunjuk pada perujukan (verwijzing), kata-kata penghubung (verbindingswoorden) dan pengguguran (ellips). Kesatuan makna dalam wacana seperti yang diterangkan di atas akan dilihat dari segi makna logik dan makna tautan. Makna tautan inilah yang merupakan konsep semantik dan merujuk kepada perkaitan kebahasaan yang didapati pada suatu ujaran yang membentuk wacana.

Jenis-Jenis Wacana

Leech mengklasifikasikan wacana berdasarkan fungsi bahasa seperti dijelaskan berikut ini;

Wacana ekspresif, apabila wacana itu bersumber pada gagasan penutur atau penulis sebagai sarana ekspresi, seperti wacana pidato;

Wacana fatis, apabila wacana itu bersumber pada saluran untuk memperlancar komunikasi, seperti wacana perkenalan pada pesta;

Wacana informasional, apabila wacana itu bersumber pada pesan atau informasi, seperti wacana berita dalam media massa;

Wacana estetik, apabila wacana itu bersumber pada pesan dengan tekanan keindahan pesan, seperti wacana puisi dan lagu;

Wacana direktif, apabila wacana itu diarahkan pada tindakan atau reaksi dari mitra tutur atau pembaca, seperti wacana khotbah.

Berdasarkan saluran komunikasinya, wacana dapat dibedakan atas; wacana lisan dan wacana tulis. Wacana lisan memiliki ciri adanya penutur dan mitra tutur,bahasa yang dituturkan, dan alih tutur yang menandai giliran bicara. Sedangkan wacana tulis ditandai oleh adanya penulis dan pembaca, bahasa yang dituliskan dan penerapan sistem ejaan.

Wacana dapat pula dibedakan berdasarkan cara pemaparannya, yaitu wacana naratif, wacana deskriptif, wacana ekspositoris, wacana argumentatif, wacana persuasif, wacana hortatoris, dan wacana prosedural.

Jumat, 01 Juni 2012

evaluasi kurikulum

PENDAHULUAN                    
Evaluasi merupakan bagian dari sistem manajemen yaitu perencanaan, organisasi, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Kurikulum juga dirancang dari tahap perencanaan, organisasi kemudian pelaksanaan dan akhirnya monitoring dan evaluasi. Tanpa evaluasi, maka tidak akan mengetahui bagaimana kondisi kurikulum tersebut dalam rancangan, pelaksanaan serta hasilnya. Tulisan ini akan membahas mengenai pengertian evaluasi kurikulum, pentingnya evaluasi kurikulum dan masalah yang dihadapi dalam melaksanakan  evaluasi kurikulum.  
ISI
A.            Pengertian Evaluasi Kurikulum            
Pemahaman mengenai pengertian evaluasi kurikulum dapat berbeda-beda sesuai dengan pengertian kurikulum yang bervariasi menurut para pakar kurikulum. Oleh karena itu penulis mencoba menjabarkan definisi dari evaluasi dan definisi dari kurikulum secara per kata sehingga lebih mudah untuk memahami evaluasi kurikulum.Pengertian evaluasi menurut joint committee, 1981 ialah penelitian yang sistematik atau yang teratur tentang manfaat atau guna beberapa obyek. Purwanto dan Atwi Suparman, 1999 mendefinisikan evaluasi adalah proses penerapan prosedur ilmiah untuk mengumpulkan data yang valid dan reliabel untuk membuat keputusan tentang  suatu program. Rutman and Mowbray 1983 mendefinisikan evaluasi adalah penggunaan metode ilmiah untuk menilai implementasi  dan outcomes suatu program yang berguna untuk proses membuat keputusan. Chelimsky 1989 mendefinisikan evaluasi adalah suatu metode penelitian yang sistematis untuk menilai rancangan, implementasi dan efektifitas suatu program. Dari definisi evaluasi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa evaluasi adalah penerapan prosedur ilmiah yang sistematis untuk menilai rancangan, implementasi dan efektifitas suatu program.1,2,3Sedangkan  pengertian kurikulum adalah :4
a.       Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Pasal 1 Butir 19 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional);
b.      Seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pembelajaran serta metode yang  digunakan sebagai pedoman menyelenggarakan  kegiatan pembelajaran (Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 725/Menkes/SK/V/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelatihan di bidang Kesehatan.).
c.       Kurikulum pendidikan tinggi adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi maupun bahan kajian dan pelajaran serta cara penyampaian dan penilaiannya yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar di perguruan tinggi (Pasal 1 Butir 6 Kepmendiknas No. 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa);
d.      Menurut Grayson (1978), kurikulum adalah suatu perencanaan untuk mendapatkan keluaran (out- comes) yang diharapkan dari suatu pembelajaran. Perencanaan tersebut disusun secara terstruktur untuk suatu bidang studi, sehingga memberikan pedoman dan instruksi untuk mengembangkan strategi pembelajaran (Materi di dalam kurikulum harus diorganisasikan dengan baik agar sasaran (goals) dan tujuan (objectives) pendidikan yang telah ditetapkan dapat tercapai;e.       Sedangkan menurut Harsono (2005), kurikulum merupakan gagasan pendidikan yang diekpresikan dalam praktik. Dalam bahasa latin, kurikulum berarti track atau jalur pacu. Saat ini definisi kurikulum semakin berkembang, sehingga yang dimaksud kurikulum tidak hanya gagasan pendidikan tetapi juga termasuk seluruh program pembelajaran yang terencana dari suatu institusi pendidikan. 
Dari pengertian evaluasi dan kurikulum di atas maka penulis menyimpulkan bahwa pengertian evaluasi kurikulum adalah penelitian yang sistematik tentang manfaat, kesesuaian efektifitas dan efisiensi dari kurikulum yang diterapkan. Atau evaluasi kurikulum adalah proses penerapan prosedur ilmiah untuk mengumpulkan data yang valid dan reliable untuk membuat keputusan tentang kurikulum yang sedang berjalan atau telah dijalankan.
Evaluasi kurikulum ini dapat mencakup keseluruhan kurikulum atau masing-masing komponen kurikulum seperti tujuan, isi, atau metode pembelajaran yang ada dalam kurikulum tersebut.Secara sederhana evaluasi kurikulum dapat disamakan dengan penelitian karena evaluasi kurikulum menggunakan penelitian yang sistematik, menerapkan prosedur ilmiah dan metode penelitian. Perbedaan antara evaluasi dan penelitian terletak pada tujuannya. Evaluasi bertujuan untuk menggumpulkan, menganalisis dan menyajikan data untuk bahan penentuan keputusan mengenai kurikulum apakah akan direvisi atau diganti. Sedangkan penelitian memiliki tujuan yang lebih luas dari evaluasi yaitu menggumpulkan, menganalisis dan menyajikan data untuk menguji teori atau membuat teori baru.1,2,3
Fokus evaluasi kurikulum dapat dilakukan pada outcome dari kurikulum tersebut (outcomes based evaluation) dan juga dapat pada komponen kurikulum tersebut (intrinsic evaluation). Outcomes based evaluation merupakan fokus evaluasi kurikulum yang paling sering dilakukan. Pertanyaan yang muncul pada jenis evaluasi ini adalah “apakah kurikulum telah mencapai tujuan yang harus dicapainya?” dan “bagaimanakah pengaruh kurikulum terhadap suatu pencapaian yang diinginkan?”. Sedangkan fokus evaluasi intrinsic evaluation seperti evaluasi sarana prasarana penunjang kurikulum, evaluasi sumber daya manusia untuk menunjang kurikulum dan karakteristik mahasiswa yang menjalankan kurikulum tersebut.
B.     Pentingnya Evaluasi Kurikulum
Penulis setuju dengan pentingnya dilakukan evaluasi kurikulum. Evaluasi kurikulum dapat menyajikan informasi mengenai kesesuaian, efektifitas dan efisiensi  kurikulum tersebut terhadap tujuan yang ingin dicapai dan penggunaan sumber daya, yang mana informasi ini sangat berguna sebagai bahan pembuat keputusan  apakah kurikulum tersebut masih dijalankan tetapi perlu revisi atau kurikulum tersebut harus diganti dengan kurikulum yang baru. Evaluasi kurikulum juga penting dilakukan dalam rangka  penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi dan kebutuhan pasar yang berubah. 1,2,3
Evaluasi kurikulum dapat menyajikan bahan informasi mengenai area – area kelemahan kurikulum sehingga dari hasil evaluasi dapat dilakukan proses perbaikan menuju yang lebih baik. Evaluasi ini dikenal dengan evaluasi formatif. Evaluasi ini biasanya dilakukan waktu proses berjalan. Evaluasi kurikulum juga dapat  menilai kebaikan kurikulum apakah kurikulum tersebut masih tetap dilaksanakan atau tidak, yang dikenal evaluasi sumatif. 5        
C.     Masalah dalam Evaluasi KurikulumNorman dan Schmidt 2002 mengemukakan ada beberapa kesulitan dalam penerapan evaluasi kurikulum , yaitu : 6
  1. Kesulitan dalam pengukuran
  2. Kesulitan dalan penerapan randomisasi dan double blind
  3. Kesulitan dalam menstandarkan  intervensi dalam pendidikan.
  4. Pengaruh intervensi dalam pendidikan mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor lain sehingga pengaruh intervensi tersebut seakan-akan lemah.
Penulis mencoba menganalisa masalah yang dihadapi dalam melakukan evaluasi kurikulum, yaitu :
1.      Dasar teori yang digunakan dalam evaluasi kurikulum lemahDasar teori yang melatarbelakangi kurikulum lemah akan mempengaruhi evaluasi kurikulum tersebut. Ketidakcukupan teori dalam mendukung penjelasan terhadap hasil intervensi  suatu kurikulum yang dievaluasi akan membuat penelitian (evaluasi kurikulum) tidak baik. Teori akan membantu memahami kompleksitas lingkungan pendidikan yang akan dievaluasi. Contohnya Colliver mengkritisi bahwa Problem Based Learning (PBL) tidak cukup hanya menggunakan teori kontekstual learning untuk menjelaskan efektivitas PBL. Kritisi ini ditanggapi oleh Albanese dengan mengemukakan teori lain yang mendukung PBL yaitu, information-processing theory, complex learning, self determination theory. Schdmit membantah bahwa sebenarnya bukan teorinya yang lemah akan tetapi kesalahan terletak kepada peneliti tersebut dalam memahami dan menerapkan teori tersebut dalam penelitian. 7,8,9,10 
 2.      Intervensi pendidikan yang dilakukan tidak memungkinkan dilakukan BlindedDalam penelitian pendidikan khususnya penelitian evaluasi kurikulum, ditemukan kesulitan dalam menerapkan metode blinded dalam melakukan intervensi pendidikan. Dengan tidak adanya blinded maka subjek penelitian mengetahui bahwa mereka mendapat intervensi atau perlakuan sehingga mereka akan melakukan dengan serius atau sungguh-sungguh. Hal ini tentu saja dapat mengakibatkan bias dalam penelitian evaluasi kurikulum. 7,8,9,10
3.      Kesulitan dalam melakukan randomisasiKesulitan melakukan penelitian evaluasi kurikulum dengan metode randomisasi dapat disebabkan karena subjek penelitian yang akan diteliti sedikit atau kemungkinan hanya institusi itu sendiri yang melakukannya. Apabila intervensi yang digunakan hanya pada institusi tersebut  maka timbul pertanyaan, “apakah mungkin mencari kelompok kontrol dan randomisasi?”. 7,8,9,10
4.      Kesulitan dalam menstandarkan intervensi yang dilakukan/kesulitan dalam menseragamkan intervensi.Dalam dunia pendidikan sulit sekali untuk menseragamkan sebuah perlakuan cotohnya penerapan PBL yang mana memiliki berbagai macam pola penerapan. Norman (2002) mengemukakan tidak ada dosis yang standar atau fixed dalam intervensi pedidikan. Hal ini berbeda untuk penelitian di biomed seperti pengaruh obat terhadap suatu penyakit, yang mana dapat ditentukan dosis yang fixed. Berbeda dengan penelitian evaluasi kurikulum misalnya pengaruh PBL terhadap kemamuan Self Directed Learning (SDL). Penerapan PBL di berbagai FK dapat bermacam-macam. Kemungkinan penerapan SDL dalam PBL di FK A 50 % , sedangkan di    FK B adalah 70 % , maka apabila mereka dijadikan subjek penelitian maka tentu saja pengaruh PBL terhadap SDL akan berbeda. 7,8,9,10 
5.      Masalah Etika penelitianMasalah etika penelitian merupakan hal yang perlu dipertimbangkan. Penerapan intervensi dengan metode blinded dalam penelitian pendidikan sering terhalang dengan isu etika. Secara etika intervensi tersebut harus dijelaskan kepada subjek penelitian sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Padahal apabila suatu intervensi diketahui oleh subjek penelitian maka ada kecendrungan subjek penelitian melakukan dengan sungguh-sungguh sehingga penelitian tidak berjalan secara alamiah.Pengaruh hasil penelitian terhadap institusi juga perlu dipertimbangkan. Adanya prediksi nantinya pengaruh hasil penelitian yang akan menentang kebijaksanaan institusi dapat mengkibatkan kadangkala peneliti menghindari resiko ini dengan cara menghilangkan salah satu variable dengan harapan hasil penelitian tidak akan menentang kebijaksanaan. 7,8,9,10
6.      Tidak adanya pure outcomeOutcome yang dihasilkan dari sebuah intervensi pendidikan seringkali tidak merupakan outcome murni dari intervensi tersebut. Hal ini disebabkan karena banyaknya faktor penganggu yang mana secara tidak langsung berhubungan dengan hasil penelitian. Postner dan Rudnitsky, 1994 juga mengemukakan dalam outcome based evaluation terdapat informasi mengenai main effect dan side effect sehingga kadangkala peneliti kesulitan membedakan atara main effect dan side effect ini. 7,8,9,10
7.      Kesulitan mencari alat ukurEvaluasi pendidikan merupakan salah satu komponen utama yang tidak dapat dipisahkan dari rencana pendidikan. Namun perlu dicatat bahwa tidak semua bentuk evaluasi dapat dipakai untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Informasi tentang tingkat keberhasilan pendidikan akan dapat dilihat apabila alat evaluasi yang digunakan sesuai dan dapat mengukur setiap tujuan. Alat ukur yang tidak relevan dapat mengakibatkan hasil pengukuran tidak tepat bahkan salah sama sekali. 7,8,9,10
8.      Penggunaan Perspektif kurikulum yang berbeda sebagai pembandingPostner mengemukakan ada lima perspektif dalam kurikulum yaitu traditional, experiential, Behavioral, structure of discipline dan constructivist. Masing-masing perspektif ini memiliki tujuannya masing-masing. Dalam melakukan evaluasi kurikulum kita harus mengetahui perspektif kurikulum yang akan dievaluasi dan perspektif kurikulum pembanding. Hal ini sering terlihat dalam evaluasi kurikulum dengan menggunakan metode comparative outcome based yang bila tidak memperhatikan masalah ini akan melahirkan bias dalam evaluasi. Kurikulum dengan perspektif tradisional tentu saja berlainan dengan kurikulum yang memiliki perspektif konstruktivist. Contoh kurikulum tradisional menekankan pada recall of knowledge sedangkan kurikulum konstruktivist menekankan pada konsep dasar dan ketrampilan berpikir. Apabila ada penelitian yang menghasilkan bahwa kurikulum tradisional di pendidikan dokter lebih baik dalam hal knowledge dibandingkan dengan PBL hal ini tentu saja dapat dimengerti karena perspektifnya berbeda. Penelitian yang menggunakan metode perbandingan kurikulum yang perspektifnya berbeda ini seringkali menjadi kritikan oleh para ahli. 5       
KESIMPULAN
Evaluasi kurikulum adalah proses penerapan prosedur ilmiah untuk mengumpulkan data yang valid dan reliabel untuk membuat keputusan tentang  kurikulum yang sedang berjalan atau telah dijalankan. Secara sederhana evaluasi kurikulum dapat disamakan dengan penelitian, karena evaluasi kurikulum menggunakan penelitian yang sistematik, menerapkan prosedur ilmiah dan metode penelitian. Evaluasi kurikulum penting dilakukan dalam rangka  penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi dan kebutuhan pasar. Ada banyak masalah dalam penerapan evaluasi kurikulum seperti dasar teori yang digunakan dalam evaluasi kurikulum lemah, intervensi pendidikan yang dilakukan tidak memungkinkan dilakukan blinded, kesulitan dalam melakukan randomisasi, kesulitan dalam menstandarkan intervensi yang dilakukan, masalah etika penelitian, tidak adanya pure outcome, kesulitan mencari alat ukur dan penggunaan perspektif kurikulum yang berbeda sebagai pembanding. Oleh karena itu dengan memahami pengertian evaluasi kurikulum dan persamaan serta perbedaannya dengan  penelitian  diharapkan evaluasi kurikulum yang akan dibuat dapat menjadi valid, reliabel dan sangat berguna sebagai bahan pertimbangan dalam membuat keputusan tentang kurikulum tersebut.       
DAFTAR PUSTAKA
1.      Lindeman, M. (2007). Program Evaluation. [Internet]. Available from:    < ww.tedi.uq.edu.au/conferences/A_conf/papers/Isaacs.html >  Accessed 3 July 2007]. 
2.      Silver,  H. (2004). Evaluation Research in Education. [Internet]. Available from:   < outh.ac.uk/resined/evaluation/index.htm >                           [Accessed 3 July 2007]. 
3.      Trochim, W.M.K. (2006). Introduction to Evaluation. [Internet]. Available from:                               < http://www.socialresearchmethods.net/kb/intreval.php>   [Accessed 3 July 2007].
4.      Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Pembinaan Akademik dan Kemahasiswaan,(2003). Buku II –Kurikulum Program Studi.
5.      Posner, G.J., (2004). Analyzing The Curriculum. Mc Graw Hill. United States.
6.      Amin, Z.E., Eng, K.H., (2003). Basics in Medical Education, World Scientific, Singapore.
7.      Dolman, D.(2003). The effectiveness of PBL : the debate continous. Some concerns about the BEME movement. Medical Education 2003;37:1129-1130
8.      Farrow, R. The effectiveness of PBL: the debate continues. Is meta analysis helpful? Medical Education 2003;37:1131-1132
9.      Norman, G.R, Schdmidt H.G. Effectiveness of problem based learning curricula: theory, practice and paper darts. Medical Education 2000;34:721-728.
10.  Albanese, M. Problem based learning: why curricula are likely to show little effect on knowledge and clinical skills. Medical Education 2000;34:729-738.